Saturday, March 04, 2006

Saya Bersyukur Telah Berdosa

Salah satu pengalaman saya di masa kecil dulu, yaitu, orang tua mengajarkan saya berdoa dengan mata terpejam. Saya tidak tahu, orang tua lainnya mengajarkan hal tersebut atau tidak kepada anak-anak mereka.

Dalam kegelapan itu, menunjukkan sesuatu tentang Allah. Allah yang transenden, tidak bisa dengan mudah ditangkap begitu saja dengan panca indera, namun juga tidak jauh untuk dijangkau. Dan di saat mata terpejam itulah, kita berharap akan bertemu dengan Allah, yang menjadi ujung pangkal doa kita.

Namun, apa yang terjadi?!

Ahaaa, saya malah membentuk sebuah gambaran tentang Allah dalam imajinasi. Disitu saya bayangkan sedang bicara dengan sosok yang... yang... yang... sangat... entahlah!!! Dari berbagai sumber, katanya Allah itu amat sangat agung, besar, berkuasa, mulia, dan beragam sangat-sangat yang lain.
Kemudian alam pikiran saya (waktu kecil) berkembang, saya gambarkan wajahNya, tubuhNya, tangan dan kakiNya, bahkan juga baju yang dipakaiNya. DIA yang sedang berada di singgasanaNya, di sebuah tempat tertentu. Jauuuuuh di sana. Bahkan mungkin saja di lapisan langit ketujuh.

Wow, jauh sekali tempat Allah itu yah.

Entah, ada atau tidak anak kecil yang (pernah) memiliki imajinasi seperti saya itu. Dan jika mengingat hal tersebut, saya pun hanya bisa tersenyum sendiri.

Sekarang, semua menjadi semakin jelas dan nyata. Semua itu adalah imajinasi sewaktu kecil. Imajinasi yang terbentuk dari berbagai program yang masuk di pikiran. Program dari orang tua, guru agama, teman-teman, bahkan juga masyarakat.

Tapi, saya tidak menyalahkan mereka yang memasukkan program di kepala saya lho. Karena tanpa adanya program-program (yang entah benar atau salah), tidak mungkin saya bisa menjadi seperti sekarang ini. Keputusan benar dan salah ada di depan mata, dan sungguh-sungguh menjadi pilihan yang bebas untuk diambil.

Bahkan juga keputusan untuk berubah haluan pun menjadi pilihan yang bebas. Namun, sebagaimana layaknya hidup yang serba terbatas ini, tentu saja kebebasan kita pun juga memiliki keterbatasan. Bayangkan saat berada pada pesta perjamuan makan pernikahan secara prasmanan. Kita bebas-sebebasnya untuk mengambil dan menyantap makanan yang disajikan. Tapi, lihat, daya tampung perut memiliki keterbatasan untuk menampung makanan yang kita santap. Jadi kebebasan kita dibatasi oleh keterbatasan diri kita sendiri.

Saya jadi ingat nasehat seorang teman, SETIAP KEPUTUSAN SELALU ADA KONSEKWENSINYA. Seperti makan itu tadi. Kalau kita makan secukupnya tentu konsekwensinya perut jadi kenyang. Tapi, kalau berlebihan, ya jelas!!! konsekwensinya, perut menjadi kekenyangan, sulit bergerak bebas, bahkan tubuh bisa jadi lemas.

Allah yang begitu sangat menyayangi umatNya, rasanya tidak mungkin DIA menghukum umat yang disayangiNYA. Kalau kita menerima hukuman, yah, hukuman itu berasal dari kita sendiri. Lebih tepatnya konsekwensi dari perbuatan yang kita lakukan, karena SETIAP KEPUTUSAN PASTI ADA KONSEKWEKNSINYA. Konsekwensi yang baik ataupun yang tidak baik.

Tak terkecuali saat kita melakukan sesuatu yang melanggar perintahNya. Ada konsekwensi yang harus kita tanggung. Jadi jangan dikira saya hobi berbuat dosa, seperti kesan dari judul di atas, meskipun tidak saya pungkiri kalau dosa saya memang begitu banyak. SAYA BERSYUKUR TELAH BERBUAT DOSA. Dari dosa (sebutan dari keputusan (salah) yang kita ambil), saya menerima konsekwensi dari keputusan (yang salah) yang telah saya lakukan itu. Termasuk konsekwensi PERASAAN BERSALAH yang terus menghantui.

Tapi bukan hanya itu saja. Sungguh saya bersyukur telah berbuat dosa. Dengan dosa itu, saya jadi bisa menemukan Allah. Saya bisa merasakan kasihNya. Saya bisa merasakan pengampunanNya. Dan saya bisa merasakan karya keselamatanNya. Itulah yang bagi saya adalah dosa yang menguntungkan. Dosa yang membuat semakin dekat denganNya.

Dan pupus sudah imajinasi saya sewaktu kecil dulu. Allah sungguh tidak jauuuuuh… bahkan di langit lapis tujuh. Jarak kita dan Allah hanya sejauh doa saja.