Tuesday, November 15, 2005

LombA

Ada sebuah contoh cerita yang saya sukai. Hidup ini bagaikan ikut lomba balap sepeda, dimana Allah adalah jurinya. Cuma satu peraturannya, siapa yang jadi pemenang akan masuk ke rumah-Nya (Surga, Kerajaan Allah, Indraloka, Nirwana, Firdaus, atau entah apalagi kosakata yang dipakai manusia untuk menyebut rumah Allah).
Karena Allah yang menyelenggarakan lomba itu, tentu saja pesertanya banyak sekali. Siapa sih yang tidak ingin bisa masuk ke rumah-Nya?! Semua orang berlomba, berusaha sekuat tenaga dengan segala daya yang dimilikinya. Semua berharap jadi pemenang.
Nah, itu dia. PE-ME-NANG! Sayangnya, tidak ada yang tau bagaimana kriteria sebagai pemenang. Yang sampai terlebih dahulu, atau yang penting bisa tiba sampai garis finish, atau yang lainnya. Tidak ada yang tau jelas kriterianya, karena Allah sendiri jurinya. Allah hanya menyampaikan : pemenangnya akan diijinkan masuk ke rumah-Nya. Dan di Kitab Suci sama, hanya sedikit saja yang bisa masuk ke sana.
Seandainya ada yang mengatakan Punya saya jelas lho, aturan dalam Kitab Suci saya yang paling benar, saya memahaminya. Tapi saya juga bisa melakukan debat kusir dengannya, semua orang beragama pasti akan mengklaim bahwa Kitab Suci-nya yang paling benar. Dan saya berani mengatakan bahwa hanya ada satu aturan yang benar, dan jelas-jelas hanya Allah sendiri yang tau aturan yang benar tersebut.
Dari cerita itu (lomba balap sepeda), saya coba hubungkan dengan cerita bersama penasehat spiritual saya (hehehe, sepertinya sekarang sedang trend, orang butuh penasehat spiritual). Tapi, jangan dikira penasehat spiritual saya ini, orangnya menyenangkan. Malah sebenarnya dia itu menyebalkan lho.
Suatu kali saya pernah bertanya, saat sedang mengalami sebuah krisis dalam pergulatan hidup. “Mo, kalau kita sedang ikut lomba lari (wah, sepertinya sekarang saya sedang suka dengan contoh lomba nih), lalu setelah beberapa langkah, saya sadar kalau ternyata saya salah jalur. Lalu apa yang sebaiknya saya lakukan?”
Hehehe, memang pertanyaan yang konyol. Dan sebenarnya saya sangat mengharapkan jawaban : Ya dibenerin, pindah jalur dong!
Tapi, seperti saya katakan sebelumnya bahwa penasehat spiritual saya ini menyebalkan. Justru jawabannya bikin saya tambah jengkel. Jawabannya : “Ya larinya dibenerin.” Saya tidak habis pikir (awalnya) dengan jawaban itu. Salah jalur kok malah saya harus benerin lari saya sih.
Setelah berpikir, berpikir, dan berpikir terus, sedikit demi sedikit saya pun bisa memahami kata-kata itu. Jadi ingat dengan kata-kata Gus Dus, kalau ada sebuah tembok penuh dengan coret-coretan, ya tidak perlu temboknya dihancurin dong. Akan menghabiskan tenaga dan dana besar untuk membangunnya kembali.
Kedua contoh kisah perlombaan itu menyentuh saya. Mirip seperti hidup ini. Kondisi (keluarga, adat-istiadat, negara, agama, pergaulan, lingkungan sekitar, pendidikan, dll) sejak awal sudah menempatkan kita pada sebuah jalur, yang belum kita sadari benar atau salah. Kondisi itu telah menciptakan kita sampai seperti ini. Jika tau tentang teorema AKU vs aku, kondisi itu telah menciptakan aku-aku.
Suatu ketika di saat kita sadar (kalau jalur itu salah), tentu akan sulit sekali memutar waktu ke belakang, bahkan mustahil, atau merombak kondisi-kondisi yang telah membentuk kita tersebut. Yang bisa dilakukan kan hanya menyingkirkan yang salah (aku yang tidak sesuai). Dan memang benar, bukan jalurnya yang harus dirubah, tapi cara larinya yang harus dibenerin. Harus benar!!! Itu yang lebih penting. Urusan menang atau kalah, serahkan saja pada jurinya. Mau masuk surga atau tidak, biarkan jurinya yang menentukan. Toh, kita tidak tau kriterianya. Itu bagian dari misteri agung hidup ini, serahkan saja pada-NYA.

Friday, November 04, 2005

Lain Ladang Lain Belalang

Saya mendapatkan sebuah SmS dari salah satu teman KKN. Dia belum jadi berangkat tugas kerja ke Bali karena tragedy Bom Bali II telah membuat takut para buyer yang berasal dari LN. Pasar sedang sepi, katanya. Tapi saat ini saya sedang tidak ingin membahas soal tragedy Bom Bali yang sudah masuk sequel kedua tersebut.

Bicara soal KKN, saya teringat pada sebuah peristiwa yang saya alami sewaktu KKN (tahun 2000) di sebuah kabupaten kecil di Jawa Tengah, di lereng gunung Merapi dan Merbabu. Pada suatu malam, kami, terdiri dari dua sub unit kelompok (13 orang), mendapat undangan untuk menghadiri sebuah pertemuan tingkat dusun. Memang jumlah kami termasuk angka yang cukup besar untuk sebuah kelompok KKN yang biasanya hanya terdiri dari 5-7 orang saja. Dan malam itu tidak semua menghadiri undangan pertemuan, saya tidak termasuk yang tidak datang.

Di desa, lokasi KKN, ada sebuah tradisi dimana saat ada orang yang datang, orang yang tiba lebih dulu akan mengatakan SUGENG. Lalu si orang kedua, atau yang datang belakangan, akan menjawab PANGESTUNIPUN. Kurang lebih artinya, Apa kabar? Dan jawabannya : Alhamdulilah baik.

Salah satu teman saya yang bernama SAUT, dari namanya pasti tau dia orang mana bukan, belum paham dengan tradisi tersebut. Sewaktu kami tiba di rumah, tempat pertemuan diadakan, seperti tradisi sebelumnya, warga dusun menyambut dengan kata SUGENG sambil bersalaman satu-persatu dengan kami. Saat itu Saut berada pada urutan pertama pada rombongan kami. Saat warga pertama menyambut dengan uluran tangan dan kami disapa SUGENG, dia (Saut) pun membalas uluran tangan dan menjawab dengan jawaban SAUT!
SUGENG! SAUT!
SUGENG! SAUT!

Begitu seterusnya. Sampai akhirnya rangkaian salam-salaman selesai, dan dia masih belum ngeh juga, padahal di belakangnya, kami sudah menahan tawa, geli. Bahkan sampai acara dimulai pun, dia tetap belum sadar. Sampai akhirnya di tengah acara dia bertanya pada saya, saya duduk di sebelahnya.

Wiek, penduduk sini kok namanya SUGENG semua ya?

Saat itu kami tak sanggup lagi menahan tawa yang dibendung sejak tadi. Dan kami pun tertawa (nyaris bisa dibilang tawa lepas). Warga yang hadir menoleh ke arah kami.
Yah, mungkin ada yang berpikir bahwa kami tidak punya unggah-ungguh, ketawa di tengah-tengah pertemuan resmi (meski di tingkat dusun) seperti malam itu, dan jelas kenyataannya malam itu kami memang kelepasan mengontrol unggah-ungguh.

Tapi tunggu dulu, sekali lagi saya ungkapkan bahwa bukan itu yang ingin saya tekankan di sini. Saya hanya ingin sekedar menunjukkan bahwa di setiap tempat memiliki makna tradisi yang berlainan satu sama lain, meskipun ada beberapa tradisi yang sama. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Ah, rasanya bukan hal yang baru bukan?! Sejak kecil , dari bangku SD, kita pun sudah dikenalkan dengan peribahasa itu pada pelajaran bahasa Indonesia.

Tradisi di lokasi KKN adalah salaman dengan mengucap SUGENG dan dijawab PANGESTUNIPUN. Lain lagi dengan tradisi dari tempat asal teman saya. Mungkin di tempatnya, orang salaman dapat diartikan saling bertukar nama. Tradisi saya, Anda, atau siapa lagi mungkin akan lain lagi. Ada sepuluh orang berkumpul bisa jadi ada 10 keunikan tradisi untuk satu jenis kegiatan, salaman misalnya. Tapi apakah itu menjadi masalah?!

Oh, tidak!
Tentu sebagian besar akan menjawab seperti itu.
Dengan catatan, ahaa, dunia ini sangat penuh dengan catatan. Lahir dicatat, sekolah dicatat, pindah rumah dicatat, menikah dicatat, bahkan sampai mau masuk liang kubur pun juga dicatat. Sepertinya kegiatan akbar manusia adalah mencatat, baik mencatat dalam arti harafiah maupun mencatat dalam pikiran masing-masing.

Kembali lagi, semuanya tadi tidaklah menjadi masalah, dengan catatan : semua pihak bersikap saling terbuka dan menerima keunikan dari masing-masing person. Keunikan!!! Menarik bukan?! Perhatian, perhatian!!! saya tidak menyebutnya perbedaan loh, saya lebih suka menyebutnya keunikan. Yah, keunikan. Seperti hakikatnya manusia tercipta dengan keunikannya masing-masing. Penilaian, konsep, dan gagasan kita saja yang membuatnya menjadi berbeda. Perbedaan. Kata yang seharusnya menjadi nilai tambah sebuah keindahan, keharmonisan, justru belakangan ini sering kali menjadi senjata pamungkas guna memproduksi sebuah konflik (besar).

Kejadian suatu malam di lokasi KKN, lucu memang. Tapi coba lihat, apakah keunikan tradisi, yg belum dipahami teman saya, itu adalah sumber petaka?! Jelas tidak. Keunikan itu justru menjadi sebuah sarana menambah keakraban antar peserta KKN. Bahkan hingga saat ini pun kami masih mengingatnya dan justru karena kejadian itu kami menjadi lebih bisa merasakan kebersamaan saat itu.

Seandainya ada yang mengatakan bahwa ilustrasi sebuah kisah di masa KKN saya adalah kisah yang ringan, oh, sungguh, saya menerima dan memahami pemikiran itu. Tapi saya juga ingin menegaskan, jika dari kisah ringan saja kita sulit untuk menelaah, lalu bagaimana bisa beralih ke kasus yang lebih komplek.
Ok, kita coba pada kasus yang lebih luas (besar). Contoh keunikan apa yang ingin digunakan?!

AGAMA????

Ahaaaaa… apakah itu yang terpikirkan?! Yoa, memang topik satu ini amat sangat riskan dalam kehidupan pluralisme di masyarakat kita.
Jujur saja, sering kali muncul di benak saya, saya tidak habis pikir dengan orang-orang yang begitu bersemangatnya mencari kebenaran demi kebenaran pada topik itu. Saya berpikir, apa yang sebenarnya mereka cari ya? Kebenaran TUHAN, atau kebenaran agama? Atau malahan sebenarnya mereka malah sedang mencari TUHAN ya?! Oh, sayang sungguh disayang jika itu yang dicari.
Mencari TUHAN??!! Aduh Mas, Mbak, Om, Tante. Untuk apa to kita bersusah-susah dan repot-repot mencari-NYA. Wong DIA ini sudah ada sepanjang sejarah manusia sejak jaman eyang Adam dan Hawa, kini, dan selamanya. Dari ALFA sampai OMEGA. Dan DIA sudah mencurahkan diri-NYA di alam semesta ini.

Malahan sebenarnya kalau saya bilang, kita tidak perlu mencari TUHAN karena DIA-lah yang selalu mencari kita. Nah, mungkin bagi sebagian orang, pernyataan saya ini terbalik. Tapi apapun pendapat dan pengajaran yang ada dan beraneka ragam itu, saya katakan, itu bukan urusan saya. Itu hanya sebuah pemikiran manusia, yang hakekatnya memiliki keterbatasan dalam tingkat kebenarannya. Dosen saya pernah bilang, dan saya setuju dengan pendapatnya, Zero Defect tidak mungkin dicapai.

Lah, masalahnya, kita mau atau tidak untuk ditemukan-NYA?! Kalau DIA hadir bagaimana kita menyikapinya. Kita milih menyambut-NYA atau malah milih ngumpet dan kabur dari-NYA?! Jawabannya ya jelas, tinggal mengakui saja jawaban yang keluar dari hati nurani kita masing-masing.

Masalah barunya, bisakah kita sungguh-sungguh menemukan jawaban dari hati nurani, yang dalam banyak kasus ternyata masih banyak yang belum bisa membedakan suara hati nurani dengan suara hati yang tercipta karena kondisi yang melingkupi kita. Tidak perlu diperpanjang urusan hati nurani ini karena bisa menjadi topik baru.

Lalu, bagaimana kita tau bahwa DIA hadir??!!
Ho-ho-ho… maaf saya bukan pakar yang kompeten untuk menjawab pertanyaan itu. Saya cuma bisa memberitahu, bahwa saya mencari TUHAN bukan melalui teori atau ilmu-ilmu ketuhanan. Oh ralat, saya tidak perlu mencari TUHAN bukan. Saya hanya perlu menyadari kehadiran-NYA dan membiarkan diri saya untuk ditemukan-NYA. Jika Anda bertanya, bagaimana caranya??? Sekali lagi, saya jawab bahwa saya tidak tau!!! Dan jujur saja, saya mengalami kesulitan untuk menjelaskan disini. Saya hanya bisa merasakan melalui pengalaman yang saya alami, begitu pula dengan Anda semua. Rasakan melalui setiap kejadian dalam hidup ini dan rasakan kehadiran-NYA. Biarkan DIA menemukan kita dan biarkan DIA bersatu dengan kita.

Lalu bagaimana dengan AGAMA?? Oh iya, tadi kita bicara tentang agama. Hmmm, apa ada yang salah dengan agama? Apa ada yang aneh dengan agama? Tidak bagi saya, entahlah kalau bagi Anda. Saya hanya berpikir (gagasan saya tentunya, dan wajar jika ada yang tidak sependapat dengan gagasan saya ini) bahwa itu hanya sebuah realitas dalam hidup. Realitas bahwa memang berbagai agama telah berkembang, dan banyak keunikan ritual yang turut mewarnai penyebarannya. Sekali lagi, itu realitas. Kita hanya perlu menyadari realitas itu saja, lalu kemudian kita hanya perlu menjalani sesuai pewahyuan yang kita yakini.

TUHAN telah mewahyukan diri melalui berbagai cara untuk umat manusia. Ikuti, taati, dan imani pewahyuan yang Anda terima dan Anda yakini. Jika pewahyuan Anda melalui peristiwa alam, imani itu. Jika pewahyuan yang Anda terima melalui sosok, imani itu. Jika pewahyuan yang Anda terima melalui kata-kata suci, imani pula itu. Imani pewahyuan yang kita terima masing-masing dan sadari realitas bahwa DIA telah mewahyukan diri melalui berbagai cara, niscaya berbagai keunikan tidak akan menjadi masalah. Dan tidak perlu bingung ataupun bersikap emosi kalau ada pernyataan Tuhanmu beda dengan Tuhanku, patung kok disembah, makan gituan aja haram, Tuhan kok dilahirkan, berdoa kok begini-begitu, dll, dst, dsb… Mas, Mbak, Oom, Tante, itu semua cuma kulitnya. Dan bukan hal mengherankan jika kulit itu
bisa macam-macam.

Betapa indahnya sebuah perbedaan itu, ups, maaf, saya sudah mengatakan di awal bahwa saya lebih suka memakai istilah keunikan dari pada perbedaan. Yah, betapa indahnya sebuah keunikan itu.

Ada yang tidak sependapat???!! Ah, sungguh saya menerima dan memahaminya kok.