Wednesday, October 04, 2006

Indahnya Hidup

Suatu kali di depan sebuah pasar, Nasruddin sedang memetik gitar dengan hanya memainkan satu not. Beberapa saat kemudian orang-orang berkumpul menggerumuninya. Salah seorang berkata kepadanya, “Kamu memainkan not yang bagus, Mullah. Tapi kenapa kamu tidak membuat variasi-variasi seperti pada umumnya para pemusik melakukannya?”

“Oh, mereka itu goblok, “sahut Nasruddin. “Mereka mencari-cari not yang pas. Aku sudah menemukannya.”

Maka dia terus memainkan not yang sama dari waktu ke waktu karena bagi dia, itulah satu-satunya not yang tepat bagi musik (bdk. Awareness, hlm 111 dlm Saat Tuhan Tiada)

Cerita ini amat menarik untuk menunjukkan bagaimana menjemukannya hidup yang monoton. Betapa membosankannya hidup yang dianggap sudah sebagai puncak, kebenaran, yang tidak perlu diutak-atik. Hidup yang indah selalu menuntut perubahan!

Tanpa kesiapsediaan berubah, orang menjadi mati seperti mayat. Tanpa kesediaan untuk mengubah dirinya, orang menjadi rapuh dan manja, terikat, tergantung pada unsur-unsur di luar dirinya. Hidupnya ditentukan oleh keluarga, lingkungan, masyarakat, agama, Negara. Tanpa kesediaan berubah, orang menjadi tidak bisa bahagia tanpa syarat.

Untuk orang-orang seperti itu, hidup hanyalah not tunggal yang selalu dimainkan dan dibawa kemana-mana. Ada variasi, tapi itu hanya variasi dinamika atau tempo saja. Sama sekali tidak mengubah not, karena baginya, not itu dianggap benar selama-lamanya.

Tuesday, June 20, 2006

Kisah Laut Mati

Saya sudah kembali lagi normal uhukkss... seolah-olah sebelumnya, saya ini abnormal aja ya. Tapi yang pasti, sekarang saya sedang ingin berkata-kata lagi.
Ada sebuah cerita nih, based on true story! Tentang dua buah danau di tanah Palestina.
Namanya Laut Mati, siapa sih yang belum pernah tau?! Sebutan itu memang pantas untuk sebuah danau di tanah Palestina yang memiliki kandungan garam tinggi sehingga tidak ada satu mahluk pun yang bisa hidup di situ. Bahkan tanaman pun tidak bisa tumbuh di sekitarnya.
Kondisi yang sangat berbeda dengan Laut (danau) Galilea, yang dapat memberikan kehidupan di sekitarnya. Ikan-ikan bisa hidup dan danau itu sering digunakan sebagai tempat berenang. Sangat kontras bukan!

Tapi ada kesamaan dari kedua tempat itu. Keduanya sama-sama memperoleh air dari sungai Yordan. Air dari sungai Yordan mengalir masuk ke Laut Galilea, lalu diteruskan untuk mengaliri sawah/ladang di sekitarnya dan juga diteruskan ke hulu sungai. Air dari hulu sungai Yordan itu lalu masuk ke Laut Mati, tapi sampai di situ hanya diam, tidak diberikan ke lainnya. Perbedaan ke dua, Laut Galilea menerima dan memberikan. Sedangkan Laut Mati menerima saja. Dan hasilnya, jelas!
Laut Mati!
Ndak perlu peduli siapa yang ngomong, yang penting adalah apa yang diomongkan. Nasehat itu seringkali saya dengar dari orang-orang, jika muncul perasaan sebel sama orang yang terlalu banyak omong atau obral janji, yah, intinya terlalu bermulut manis deh.

Pada awalnya saya sependapat. Peduli amat dengan siapa saya bicara, yang penting saya ambil yang bagus-bagus dari yang diomonginnya.
Tapi sekarang saya berani menolak. Semua orang bisa ngomong soal cinta, tapi tidak semua orang tau apa itu cinta. Semua orang bisa ngomongin kebaikan, tapi tidak semua orang tau dan bisa melakukan kebaikan. Jadi sesuatu yang diomongin seseorang itu, berisi atau tidak berisi, tergantung dari siapa yang ngomong. Dan tentu saja menggeser pola pikir Positive Thinking (menyingkirkan prasangka buruk). Apa positive thinking itu salah??
Oh, bukan begitu!!!

Hanya saja, ada hal yang lebih penting dari pada ber-positive thinking. Yaitu : KESADARAN. Yah!
Kesadaran dapat membawa kita untuk menghadapi realitas. Sikap mampu menghadapi realitas lebih dapat diandalkan dari pada positive thinking. Karena positive thinking hanya menjadi efektif jika kita memiliki relasi personal dengan pribadi yang bersangkutan. Jika tidak punya relasi??? Yah, jangan marah jika sepeda motor bisa tiba-tiba menguap (alias hilang) saat diparkir, tanpa dikunci, karena kita berpikir di tempat itu aman. Dan kata aman itu kita peroleh dari tukang becak yang kita temui di sekitar situ (perhatian : bukan tukang becaknya yang salah, tapi sikap positive thinking kita lah yang menyesatkan, atau bahkan konyol).

Saya bisa belajar satu hal, jadi bukan apa yang diomongkan seseorang, melainkan... siapa yang ngomong. Itu lebih penting!

Siapa yang ngomong!!! Personal!!
Seperti rayuan teman pria saya terhadap pacarnya. Katanya, “Bukan karena kamu cantik, aku lalu mencintaimu. Tapi karena aku mencintaimu, maka kamu terlihat cantik.”
Indah bukan?!

Ada seseorang yang telah menyampaikan kepada saya tentang hal-hal yang menarik. Kasih, Taat, dan Kerendahan Hati. Dan sebenarnya, yang membuat saya tertarik adalah sosok yang mengatakannya itu. Karena DIA yang mengatakannya, maka saya tertarik dengan apa yang dikatakannya. Bukan hanya itu saja, tetapi DIA telah mengatakan bahwa saya mendapatkan perhatian yang special, dan banyak hal lainnya. Saya telah mendapatkan banyak hal, bahkan lebih banyak dari yang saya butuhkan. Dan saya tidak mau menjadi mati, seperti Laut Mati, dengan selalu mendapatkan terus menerus. Saya juga tidak mau berbangga diri dengan memberi terus, karena jelas, saya tidak mungkin dapat memberikan apa pun seandainya saya tidak diberi sesuatu terlebih dahulu.
Jadi kalau saya memaafkan seseorang, jelas! Bukan karena orang itu meminta maaf kepada saya. Apalagi jika relasi personal saya dengan orang itu kurang baik. Saya akan memaafkan orang itu, sungguh dengan tulus hati, karena saya sudah dimaafkan terlebih dahulu. Senada dengan kita dapat berbagi rejeki dengan orang lain, karena sebelumnya kita telah mendapatkan rejeki terlebih dahulu. Seperti Danau Galilea yang dapat membagikan air di sawah, ladang, dan kehidupan di sekitarnya karena telah mendapatkan air dari sungai Yordan.

Pada kesempatan kali ini, saya sekalian ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang jauh-jauh datang dari Semarang. Terima kasih atas kunjungannya, maaf jika ndak bisa menjadi tuan rumah yang baik, karena saya memang nggak mungkin bisa menjadi tuan, saya kan perempuan hehehe. Ncis, Heri, dan Conk jangan kapok untuk datang berkunjung lagi ya.

Wednesday, May 17, 2006

Nothing To Say

Saat ini saya sedang tidak ingin berkata-kata.
Entah karena jenuh... atau mungkin terlalu muak dengan kata-kata.
Dan saat ini memang tidak ada yang harus dikatakan.
Karena tidak tau lagi apa yang akan dikatakan.
Karena pengap dengan dengungan kata-kata di gendang telinga.
Dan karena bosan dengan semua kata-kata yang meluncur dari rongga mulut.
Kata-kata itu begitu mudahnya meluncur dari lidah yang licin. Selicin kulit penggoda Hawa yang memaksa Adam menyantap hidangan terlarang.
Dan saya sungguh tidak sedang ingin berkata-kata.....karena ....Tidak ada yang benar dengan kata-kata.
Bodohnya telinga jika mau mendengarkannya dengan seksama.
Bodohnya mata jika terlena dengan gerak bibir si pendusta.
Dan tentu saja bodohnya AKU jika percaya dengan semua kata-kata itu.
Tidak ada yang benar dengan kata-kata. Karena KEBENARAN memang tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata.
...::: itz`me :::...

Saturday, April 22, 2006

Untung Rugi

Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? (Mat 16:26)

Seharian ini waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk melihat orang-orang yang berlalu-lalng di hadapan saya. Satu pertanyaan yang terlintas, APAKAH MEREKA SEDANG BERBAHAGIA??
Ataukah ada diantara mereka yang benar-benar bahagia, bahagia yang sesungguhnya?
Lalu saya bertanya pada diri saya sendiri, APAKAH AKU BAHAGIA??

Saya bertemu teman lama, kami bicara panjang lebar, ngalor ngidul, ngetan ngulon, hingga kami menyentuh topik ini.
Apa yang sebenarnya kita inginkan dalam hidup ini?!
Dan kami sepakat menjawab, KEBAHAGIAAN. Kami ingin mencapai kebahagiaan.
Tapi ada masalah, kebahagiaan itu gimana sih????!!!!!
Pernah gak sih ada yang berpikir seperti saya (dulu), kita akan bahagia bila apa yang kita inginkan dapat terpenuhi!
Pengen berhasil dalam study, punya pekerjaan yang mapan, gaji gede, pasangan hidup yang ideal (sayang, setia, baik hati, gemar menabung, bertanggung jawab - yah, pokoknya kayak ciri-ciri dasa darma pramuka lah), banyak temen, dll, dst, dsb. Jujur aja, saya pernah mikir gitu sih.
Trus pernah gak sih terpikir, kalau ternyata semua yang kita inginkan itu sebenarnya adalah penghambat kita dalam mencapai kebahagiaan. Segala keinginan yang dipikir adalah sumber bahagia itu pasti dengan daya upaya akan diusahakan untuk berada dalam genggaman.
Lalu apa?
Akan kita pegang dan upayakan sedemikian rupa supaya tidak lepas dari genggaman. Dan malah membuat tanpa sadar, kita gelisah, tegang, cemas, takut, bahkan bisa frustasi kalau keinginan yang sudah dalam genggaman itu lepas.
Menjadi takut gagal study, deg-deg'an kalau dikeluarkan dari tempat kerja, takut orang yang kita cintai lepas meninggalkan kita.
Tolol gak sih??!!
Bagaimana bahagia seperti itu. Bagaimana itu bisa disebut kebahagiaan jika yang muncul justru khawatir, gelisah, dan takut kehilangan (meskipun perasaan itu tidak kita sadari terbentuk dengan sendirinya). Seperti orang bermimpi indah dan takut terbangun karena jika terbangun, maka realitas yang harus dihadapi.
Yah, apa gunanya jika dunia dalam genggaman kita, namun kehilangan rasa bebas untuk menikmatinya. Seperti orang mati, tinggal tubuh yang menjalani fungsi biologisnya tanpa memiliki nyawa.

Saturday, March 04, 2006

Saya Bersyukur Telah Berdosa

Salah satu pengalaman saya di masa kecil dulu, yaitu, orang tua mengajarkan saya berdoa dengan mata terpejam. Saya tidak tahu, orang tua lainnya mengajarkan hal tersebut atau tidak kepada anak-anak mereka.

Dalam kegelapan itu, menunjukkan sesuatu tentang Allah. Allah yang transenden, tidak bisa dengan mudah ditangkap begitu saja dengan panca indera, namun juga tidak jauh untuk dijangkau. Dan di saat mata terpejam itulah, kita berharap akan bertemu dengan Allah, yang menjadi ujung pangkal doa kita.

Namun, apa yang terjadi?!

Ahaaa, saya malah membentuk sebuah gambaran tentang Allah dalam imajinasi. Disitu saya bayangkan sedang bicara dengan sosok yang... yang... yang... sangat... entahlah!!! Dari berbagai sumber, katanya Allah itu amat sangat agung, besar, berkuasa, mulia, dan beragam sangat-sangat yang lain.
Kemudian alam pikiran saya (waktu kecil) berkembang, saya gambarkan wajahNya, tubuhNya, tangan dan kakiNya, bahkan juga baju yang dipakaiNya. DIA yang sedang berada di singgasanaNya, di sebuah tempat tertentu. Jauuuuuh di sana. Bahkan mungkin saja di lapisan langit ketujuh.

Wow, jauh sekali tempat Allah itu yah.

Entah, ada atau tidak anak kecil yang (pernah) memiliki imajinasi seperti saya itu. Dan jika mengingat hal tersebut, saya pun hanya bisa tersenyum sendiri.

Sekarang, semua menjadi semakin jelas dan nyata. Semua itu adalah imajinasi sewaktu kecil. Imajinasi yang terbentuk dari berbagai program yang masuk di pikiran. Program dari orang tua, guru agama, teman-teman, bahkan juga masyarakat.

Tapi, saya tidak menyalahkan mereka yang memasukkan program di kepala saya lho. Karena tanpa adanya program-program (yang entah benar atau salah), tidak mungkin saya bisa menjadi seperti sekarang ini. Keputusan benar dan salah ada di depan mata, dan sungguh-sungguh menjadi pilihan yang bebas untuk diambil.

Bahkan juga keputusan untuk berubah haluan pun menjadi pilihan yang bebas. Namun, sebagaimana layaknya hidup yang serba terbatas ini, tentu saja kebebasan kita pun juga memiliki keterbatasan. Bayangkan saat berada pada pesta perjamuan makan pernikahan secara prasmanan. Kita bebas-sebebasnya untuk mengambil dan menyantap makanan yang disajikan. Tapi, lihat, daya tampung perut memiliki keterbatasan untuk menampung makanan yang kita santap. Jadi kebebasan kita dibatasi oleh keterbatasan diri kita sendiri.

Saya jadi ingat nasehat seorang teman, SETIAP KEPUTUSAN SELALU ADA KONSEKWENSINYA. Seperti makan itu tadi. Kalau kita makan secukupnya tentu konsekwensinya perut jadi kenyang. Tapi, kalau berlebihan, ya jelas!!! konsekwensinya, perut menjadi kekenyangan, sulit bergerak bebas, bahkan tubuh bisa jadi lemas.

Allah yang begitu sangat menyayangi umatNya, rasanya tidak mungkin DIA menghukum umat yang disayangiNYA. Kalau kita menerima hukuman, yah, hukuman itu berasal dari kita sendiri. Lebih tepatnya konsekwensi dari perbuatan yang kita lakukan, karena SETIAP KEPUTUSAN PASTI ADA KONSEKWEKNSINYA. Konsekwensi yang baik ataupun yang tidak baik.

Tak terkecuali saat kita melakukan sesuatu yang melanggar perintahNya. Ada konsekwensi yang harus kita tanggung. Jadi jangan dikira saya hobi berbuat dosa, seperti kesan dari judul di atas, meskipun tidak saya pungkiri kalau dosa saya memang begitu banyak. SAYA BERSYUKUR TELAH BERBUAT DOSA. Dari dosa (sebutan dari keputusan (salah) yang kita ambil), saya menerima konsekwensi dari keputusan (yang salah) yang telah saya lakukan itu. Termasuk konsekwensi PERASAAN BERSALAH yang terus menghantui.

Tapi bukan hanya itu saja. Sungguh saya bersyukur telah berbuat dosa. Dengan dosa itu, saya jadi bisa menemukan Allah. Saya bisa merasakan kasihNya. Saya bisa merasakan pengampunanNya. Dan saya bisa merasakan karya keselamatanNya. Itulah yang bagi saya adalah dosa yang menguntungkan. Dosa yang membuat semakin dekat denganNya.

Dan pupus sudah imajinasi saya sewaktu kecil dulu. Allah sungguh tidak jauuuuuh… bahkan di langit lapis tujuh. Jarak kita dan Allah hanya sejauh doa saja.